BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pajak secara
bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa pengabdian
serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai
keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara
langsung yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan
kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat
nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan
merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.Pajak
penghasilan pasal 21,22,23,24,25,dan 26.
Dalam hal menjalankan usaha,
suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan
usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib
pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak
badan dalam perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
2.1 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian pajak pengahasilan
pasal 21,22,23,24,25,dan 26 ?
2. Bagaimana Mekanisme pajak
penghasilan pasal 21,22,23,24,25,dan 26 ?
2.2 Tujuan
Makalah
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat
mengerti Pajak Penghasilan pasal 21,22,23,24,25,dan 26
2. Dapat
mengerti alur pemungutan Pajak Pengahasilan pasal 21,22,23,24,25,dan
26
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21
1.
Pengertian PPh Pasal 21
Adalah pajak yang dipotong oleh
pemberi kerja atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri, atau pasal ini mengatur pemotongan pajak untuk
orang yang berkeja pada satu peusahaan dan di wajibkan mengisi SPT tahunan.
2.
Berikut ini adalah imbalan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:
a)
Pegawai tetap, berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b)
Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
c)
Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan lainnya
d)
Pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengna pensiun yang
diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis.
e) Bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f)
Peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.
g)
Penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma
Penghitungan Khusus (deemed profit).
3.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a)
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai.
b)
Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas
pada pemerintah Pusat termasuk instansi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga, negara lainnya, dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia dil luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
c)
Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan
lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d)
Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar
e)
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam
negeri, termasuk tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
-
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan
jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
-
Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
f)
Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan.
4. Yang
tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan PPh pasal 21 adalah :
a)
Kantor perwakilan Negara asing
b)
Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c)
Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan
rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
5.
Wajib Pajak
PPh 21
a) Pegawai
b) Penerima uang
pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya.
c) Bukan pegawai yang
menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan denga pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain meliputi:
·
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdir dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris.
·
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintsng sinteron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
·
Olahragawan
·
Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
·
Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
·
Pemebri jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan sisitem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan social serta
pemebri jasa keapda suatu kepanitiaan.
·
Agen iklan
·
Pengawa atau pengelola proyek
·
Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
·
Petugas penjaja barang dagangan
·
Petugas dinas luar asuransi
·
Distributor perusahaan umtilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
d) Peserta kegiatan yang
menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
suatu kegiatan, antar alain meliputi :
e) Peserta perlombaan
dalam sehala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
f) Peserta rapat,
konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.
g) Peserta atau anggota
dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.
h) Peserta pendidikan,
pelatihan, dan magang.
i) Peserta
kegiatan lainnya.
6.
Tidak
termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
a) Pejabat perwakilan
diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tesebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbale balik.
b) Pejabat perwakilan
organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan ewarga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
7.
Objek Pajak
PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong adalah:
a) Penghasilan yang
diterima atasu diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur.
b) Penghasilan yang
diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teatur berupa uang pensiun atau
penghasilan sejenisnya.
c) Penghasilan
sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun yang diterima secra sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, damn pembayaran lain
sejenis.
d) Penghasilan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e) Imbalan kepada bukan
pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f) Imbalan kepada
peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan anma dan dalam bentuk apapun, dan
ombalan sejenis dengan nama apapun.
g) Penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diberikan oleh :
·
Bukan Wajib Pajak
·
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau
·
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Berikut ini yang bukan merupakan objek pemotongan PPh
Pasal 21:
a) Pembayaran manfaat
atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa.
b) Penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apng diberikan apapun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
atau Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
c) Iuran pensiun yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar oleh pemberi kerja.
d) Zakat yang diterima oleh
orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia dan diterima oleh orang pribadi yag
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
e) Beasiswa, yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
·
penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh WNI dari Wajib Pajak
pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan atau informal di
dalam negeri maupun di luar negeri.
·
ketentuan beasiswa tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai
hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari Wajib
Pajak pemberi beasiswa.
·
Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah
(tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi
yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar
sesuai dengna daerah lokasi tempat belajar.
9.
Tarif Pajak
dan Penerapannya untuk Wajib Pajak yang memiliki NPWP
a)
Penghitungan Pemotongan PPh Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap
o Dengan Gaji Bulanan
Contoh :
Sanusi pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT
Madju dengan memperoleh gaji sebulan Rp 2.500.000 dan membayar iuran pensiun
sebesar Rp 100.000. Sanusi menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungannya sebagai berikut:
Gaji
sebulan
Rp 2.500.000
Pengurangan:
1)
Biaya
jabatan:
5% x Rp 2.500.000 Rp 125.000
2)
Iuran
pensiun
Rp
100.000
Jumlah
pengurangan
(Rp 225.000)
Penghasilan netto
sebulan
Rp 2.275.000
Penghasilan netto setahun (12xRp
2.275.000) Rp 27.300.000
PTKP setahun
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan WP
kawin Rp 1.320.000
Jumlah
PTKP
(Rp 17.160.000)
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 10.140.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp
10.140.000 Rp
507.000
PPh pasal 21 sebulan Rp 507.000 :
12
Rp
42.250
o Dengan gaji Mingguan dan Gaji Harian
Contoh:
Toni Wijaya pegawai pada perusahaan PT Samudra dengan
memperoleh gaji mingguan sebesar Rp 500.000 . Toni kawin dan mempunyai seorang
anak. PT Samudra masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan
premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
setiap bulan sebesar 1% dan 0,3% dari gaji. PT Samudra membayar iuran Jaminan
Hari Tua setiap bulan sebesar 3,7% dari gaji dan Toni membayar iuran pensiun Rp
10.000 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari gaji.
Penghitungannya sebagai berikut :
Penghasilan sebulan
(4x500.000)
Rp 2.000.000
Premi JKK
(1%x2.000.000)
Rp 20.000
Premi JKM
(0.3%x2.000.000)
Rp 6.000
Penghasilan bruto
sebulan
Rp 2.026.000
Pengurangan
1) Biaya jabatan (5%x
2.026.000) Rp
101.300
2) Iuran
pensiun
Rp 10.000
3) Iuran JHT
(2%x2.000.000)
RP 40.000
Jumlah
pengurangan
(Rp 151.300)
Penghasilan netto
sebulan
Rp 1.874.700
Penghasilan netto setahun (12x1.874.700)
Rp 22.496.400
PTKP
-untuk
WP
Rp 15.840.000
-tambahan karena
menikah
Rp 1.320.000
-tambahan seorang
anak
Rp 1.320.000
Jumlah PTKP
(Rp 18.480.000)
Penghasilan Kena Pajak
setahun
Rp 4.016.400
Pembulatan
Rp 4.016.000
PPh Pasal 21 setahun
5%x4.016.000
Rp 243.050
PPh Pasal 21 sebulan (243.050 :
12)
Rp 20.254
PPh Pasal 21 sehari
(20.254
:26)
Rp 779
b)
Penerima Pensiun Berkala yang Dibayarkan Secara Bulanan
Contoh :
Wijaya seorang pegawai yang sudah pensiun dengan dana
pensiun sebulan Rp 3.000.000. Wijaya sudah menikah dan memiliki 2 orang anak
Perhitungannya sebagai berikut :
Pensiun sebulan
Rp 3.000.000
Pengurangan :
Biaya pensiun 5% x
3.000.000
(Rp 150.000)
Penghasilan neto
sebulan
Rp 2.850.000
Penghasilan netto setahun
(12x2.850.000)
Rp 34.200.000
PTKP
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan karena
menikah
Rp 1.320.000
-tambahan untuk 2
anak
Rp 2.640.000
Jumlah PTKP
(Rp 19.800.000)
Penghasilan Kena
Pajak
Rp 14.400.000
PPh Pasal 21 setahun 5% x
14.400.000
Rp 720.000
PPh Pasal 21 sebulan 720.000 :
12
RP 60.000
c)
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan secara Bulanan
Contoh :
Budi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar
upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Maret 2009, Budi hanya bekerja
20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 120.000. Budi menikah tetapi belum
memiliki anak .
Penghitungan PPh sebagai berikut :
Upah Maret 2009 (20 x
120.000)
Rp 2.400.000
Penghasilan neto setahun (12 x
2.400.000)
Rp 28.800.000
PTKP
-untuk WP
sendiri
Rp 15.840.000
-tambahan karena
menikah
Rp 1.320.000
Jumlah
PTKP
(Rp 17.160.000)
Penghasilan Kena
Pajak
Rp 11.640.000
PPh Pasal 21 setahun 5% x
11.640.000
Rp 582.000
PPh Pasal 21 sebulan
(582.000:12)
Rp 48.500
·
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan
uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarof
lapisan pertama Pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas :
a) Jumlah penghasilan
bruto sehari yang melebihi Rp 150.000 atau
b) Jumlah penghasilan
bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam
satu bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu
bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000, PPh Pasal 21 dihitnung dengan
menerapkan tarof Pasal 17 UU PPh ataqs jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
·
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif dari
a) Penghasilan Kena
Pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau
diperboleh bukan pegawai (selain tenaga ahli), yang menerima imbalan yang
bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan :
o Yang bersangkutan telah mempunyai NPWP
o Hanya memperoleh penghasilan dari
hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
o Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
o PPh Pasal 21 = (penghasilan bruto-PTKP)
x tarif Pasal 17 UU PPh
o Jika tidak memenuhi syarat maka PPh
Pasal 21 = Penghasilan bruto x tariff Ps 17
b) 50% dari jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas, yang terdiridari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
PPh Pasal 21 = (50% x Penghasilan bruto) x tarif pasal
17
c) Jumlah penghasilan
bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima
atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x tariff Ps 17
d) Jumlah penghasilan bruto
berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x 17
e) Jumlah penghasilan
bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan
PPh pasal 21= penghasilan bruto x tariff pasal 17
10. Tarif
Pemotongan PPh Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Punya NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
yang tidak memilikiNPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih
tinggi 20% daripada tariff yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki
NPWP. Artinya jumlah PPh yang harus dipotong sebesar 120 %dari jumlah PPh Pasal
21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
Pemotongan ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak
final.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh
pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai,
dengna nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja
atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak.
Dalam peraturan baru tersebut, ada penyesuaian tarif
PPh untuk uang pesangon, uang pensiun, tabungan hari tua, dan jaminan hari tua
dari perusahaan. Adapun tarif baru tersebut adalah sebagai berikut:
a) Atas penghasilan
bruto sampai dengan Rp. 50 juta, tarifnya 0%;
b) Atas penghasilan
bruto diatas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta, tarifnya 5%;
c) Atas penghasilan
bruto diatas Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 500 juta, tarifnya 15%.
d) Atas penghasilan bruto
diatas Rp. 500 juta, tarifnya 25%.
Sedangkan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan
sebagai berikut:
a) atas penghasilan
bruto sampai dengan Rp. 50 juta, dikenakan tarif 0%;
b) atas penghasilan
bruto di atas Rp. 50 juta, dikenakan tarif 5%.
catatan : penghailan bruto adalah penghasilan bersih
di tambah tunjangan dan upah dalam 1 bulan
2.2 PAJAK
PENGHASILAN PASAL 22
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendaharawan Pemerintah
Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik
badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungut & Objek PPh
Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang melakukan pembayaran, atas
pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan
atau belanja daerah (APBD);
4. Bank Indonesia (Bl), Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT.
Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT.
Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank
BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN
maupun dari non APBN;
5. Industri semen, industri rokok
putih, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri;
6. Pertamina serta badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT
dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
III. Tarif PPh Pasal 22
Atas impor :
1. yang menggunakan Angka Pengenal
Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
2. yang tidak menggunakan API,
7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
3. yang tidak dikuasai, 7,5%
(tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
1. Atas pembelian barang yang
dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II butir 2,3,
dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak
final.
2. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o Kertas =
0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen =
0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja =
0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Rokok =
0.15% x Harga Bandrol (Final)
o Otomotif =
0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3. Atas penjualan hasil produksi
atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak
dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai
berikut:
Catatan: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur
/dealer/agen, bersifat final. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan
sebesar 0,5 % dari harga pembelian.
IV. Pengecualian
Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau
penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
2. Impor barang yang dibebaskan
dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu
impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan
oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian
barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian
bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di
proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor,
dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana
Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian
gabah dan atau beras oleh Bulog.
V. Saat Terutang dan
Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan
dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (angka II
butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi
(angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran
Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan
(angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
VI.Tata Cara Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang
(angka II butir 1) disetor oleh importer dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro
dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke
KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP
Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut
menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran
laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut
Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas
) hari setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa
ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan
hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib
pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas penjualan
hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang
(delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan
bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran
laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut
Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT
Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
catatan : yaitu pasal yang mengatur tentang bidang
usaha lain, penyerahan barang kepada pemerintah yang menggunakan PBN / APBD
|
2.3 PAJAK
PENGHASILAN PASAL 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan
jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
1.
badan pemerintah;
2.
Wajib Pajak badan dalam negeri;
3.
penyelenggaraan kegiatan;
4.
bentuk usaha tetap (BUT);
5.
perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya;
6.
Wajib Pajak Orang pribadi dalam
negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
1.
WP dalam negeri;
2.
BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
1.
15 % dari jumlah bruto atas:
a) dividen, bunga, dan
royalti;
b) hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2.
15 % dari jumlah bruto dan final
atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp.
240.000,00 setiap bulan.
3.
5% dari perkiraan penghasilan neto
atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif,
perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah:
a) 15 % x 10 % dari
jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
b) 15 % x 30 % dari
jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
4.
15 % dari perkiraan penghasilan
netto atas Imbalan jasa. Tarif, perkiraan penghasilan neto dan objek imbalan
jasa adalah:
a) 15 % x 30 % dari
jumlah bruto imbalan jasa teknik dan jasa manajemen dan jasa konsultan kecuali
konsultansi kontruksi
b) 15% x 26 2/3% dari
jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan
material/barang) imbalan jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan
konstruksi;
c) 15% x 30% dari jumlah
bruto jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntasi, jasa perancang, jasa pengeboran
(jasa drilling) di bidang penambang minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang di bidang penambangan migas,
jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambang selain migas, jasa
penunjang di bidang penerbang dan Bandar udara, jasa penebangan hutan, jasa
pengelolaan limbah, jasa penyedia tenaga kerja, jasa perantara, jasa perantara,
jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek, KSEI dan KPEI, jasa kostudian/penyimpanan/ penitipan. Kecuali yang
dilakukan KSEI, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa sehubungan dengan
software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
d) 15% x 30% dari jumlah bruto
imbalan jasa instalasi / pemasangan :
1. Jasa
instalasi/pemasangan mesin,
2. jasa instalasi /
pemasangan peralatan listrik / telepon/air/ gas/ AC/TV kabel
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagai
pengusaha konstruksi;
e) 15% x 30% dari jumlah
bruto imbalan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan :
1. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan mesin,listrik /telepon /air / gas / AC / TV kabel;
2. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan peralatan;
3. Jasa perawatan /
pemeliharaan / perbaikan bangunan;
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkup pekerjaanya di bidnag konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagai
pengusaha konstruksi.
f) 15 % x 13 1/3 %
dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan
pengadaan material/barang) imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa
perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin,
listrik/ telepon/air/gas/AC/TV kabel yang dilakukan Wajib Pajak pengusaha
Konstruksi yang mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
g) 5 % x 20 % dari
jumlah bruto imbalan jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa
penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.
h) 15 % x 20 % dari
jumlah bruto imbalan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa,
media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
i) 5 % x 10
% dari jumlah bruto imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan /cleaning
service.
j) 15 % x 10
% dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan
pengadaan material/barang) imbalan Jasa katering
Penghitungan PPh Pasal 23
terutang menggunakan jumlah Bruto tidak termasuk PPN.
Dikecualikan dari Pemotongan
PPh Pasal 23
1.
Penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada bank;
2.
Sewa yang dibayar atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3.
Dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi,
BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.
dividen berasal dari cadangan laba
yang ditahan;
2.
bagi perseroan terbatas, BUMN/D,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha
aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
4.
Bunga obligasi yang diterima atau
diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian ijin usaha;
5.
Bagian laba yang diterima atau
diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
6.
SHU koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya;
7.
Bunga simpanan anggota koperasi yang
tidak melebihi jumlah Rp.240.000.00 setiap bulan.
Saat Terutang, Penyetoran,
dan SPT Masa PPh Pasal 23
1.
PPh Pasal 23 terutang pada akhir
bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2.
PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong
Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat
terutang pajak.
3.
SPT Masa disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh
Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh
Pasal 23.
catatan : pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak
untuk jasa
2.4 Pajak Penghasilan Pasal 24
Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah
Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar Negeri
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1.
Untuk penghasilan dari usaha
dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
2.
Untuk penghasilan berupa dividen,
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
3.
Untuk penghasilan lainnya, dilakukan
dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
4.
Kerugian yang diderita di luar
negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di
Indonesia.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
(164/KMK.03/2002)
·
Pajak Penghasilan yang dibayar atau
terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang di Indonesia.
·
Pengkreditan PPh yang dibayar di
Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya
penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
·
Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat
dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang
dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut
perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena
Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena
Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih
besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
·
Apabila penghasilan dari luar negeri
berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk
masing-masing negara.
·
Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang
dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )
dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan
lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
·
Dalam hal jumlah PPh yang dibayar
atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan,
kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
·
Untuk melaksanakan prengkreditan PPh
Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan
penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
1.
- Laporan Keuangan dari penghasilan
yang berasal dari luar negeri
2.
- Foto kopi Surat Pemberitahuan
Pajak yang disampaikan di luar negeri
3.
- Dokumen pembayaran PPh di luar
negeri.
·
Atas permohonan wajib pajak, Kepala
KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas,
karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
·
Dalam hal terjadi perubahan besarnya
penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan
pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
·
Apabila karena pembetulan SPT
tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut
tidak dikenakan sanksi bunga.
·
Apabila karena pembetulan SPT
tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.
2.5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Cara Menghitung Besarnya PPh
pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan yang harus dibayar oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
n Pajak
Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
n Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24
¨
Setelah dilakukan pengurangan kemudian dibagi 12 (duabelas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak
Hal-hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran
PPh Pasal 25
a) Wajib Pajak berhak
atas kompensasi kerugian
b) Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur
c) SPT Tahunan PPh tahun
yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan
d) Wajib Pajak diberikan
perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
e) Wajib Pajak
membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
f) Terjadi
perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
Beberapa Masalah/Kasus untuk
Menghitung Besarnya PPh Pasal25
·
Angsuran bulanan untuk bulan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk
bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu
·
Apabila dalam tahun pajak berjalan
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran
pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak
·
Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP
Baru,Bank,BUMN,BUMD, dan WP Tertentu lainnya
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
a) Sesuai dengan SeKep
MenKeu No. 522/KMK/04/2000 dan diubah menjadi SeKep MenKeu no. 84/ KMK/03/2002
besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung sebesar
jumlah pajak yang diperoleh dari penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (duabelas)
b) Angsuran PPh pasal 25
setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi adalah
sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang
disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri
untuk tahun pajak yang lalu dibagi 12
c) Angsuran PPh pasal 25
setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi yang merupakan
WP barumaka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah
pajak yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba rugi
fiskal triwulan pertama yang disetahunkan , dibagi 12
d) Besarnya angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Pengusaha Tertentu ditetapkan
sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
e) Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di
bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melali tempat
usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk kendaraan
bermotor dan restoran.
f) Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN/D dengan nama dalam bentuk apapun
kecuali Wajib Pajak Bank dan Wajib Pajak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi,
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)
tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang
saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 25 dan Pasal
24 yang dibayar atau terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu, dibagi
12 (duabelas)
g) Apabila RKAP belum
disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sama dengan
angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya
h) Apabila ada sisa
kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25
adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari penghasilan
neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan
tersebut
2.6 PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Pemotong PPh Pasal 26
·
Badan Pemerintah;
·
Subjek Pajak dalam negeri;
·
Penyelenggara Kegiatan;
·
BUT;
·
Perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1.
20% (final) dari jumlah penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
1.
dividen;
2.
bunga, premium, diskonto, premi
swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
3.
royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
4.
imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan;
5.
hadiah dan penghargaan
6.
pensiun dan pembayaran berkala
lainnya.
2.
20% (final) dari perkiraan
penghasilan neto berupa :
1.
penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia;
2.
premi asuransi, premi reasuransi
yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di
luar negeri.
3.
20% (final) dari Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
kembali di Indonesia.
4.
Tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada
persetujuan.
Saat Terutang, Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1.
PPh pasal 26 terutang pada akhir
bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan,
tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu.
dahulu.
2.
Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat
bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
o
lembar pertama untuk Wajib Pajak
luar negeri;
o
lembar kedua untuk Kantor Pelayanan
Pajak;
o
lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3.
PPh pasal 26 wajib disetorkan ke
bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP),
paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak.
4.
SPT Masa PPh Pasal 26, dengan
dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti
pemotongan disampaikan
5.
ke KPP setempat paling lambat 20
hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001,
penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor
Pelayanan
Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
1.
BUT dikecualikan dari pemotongan PPh
Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan
dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
kembali di Indonesia dengan syarat:
1.
dilakukan dalam bentuk penyertaan
modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri, dan;
2.
dilakukan dalam tahun berjalan atau
selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau
diperoleh penghasilan
tersebut;
tersebut;
3.
tidak melakukan pengalihan atas
penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan
tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2.
Badan-badan Internasional yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wajib
pajak badan dan pajak penghasilan badan merupakan bagian yang sangat kompleks dalam
perpajakan. Baik dari segi macam-macam usaha yang termasuk badan dalam
pengertian pajak maupun cara penghitungan pajak penghasilan itu sendiri. Begitu
juga dengan hak dan kewajiban dari wajib pajak badan. Kewajiban
menyelenggarakan pembukuan bagi wajib pajak badan tanpa memandang omzet karena
wajib pajak badan dirasa telah terbentuk dalam suatu organisasi yang terarah
sehingga mampu menyelenggarakan pembukuan perpajakan.perhitung pajak berdasar
pada Pajak Penghasilan pasal 21,22,233,24,25,dan 26
3.2 Saran
Dan
perbedaan yang terjadi pada laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan
pajak membuat wajib pajak harus melakukan penyesuaian agar didapat laba fiskal
dengan cara merekonsiliasinya.
Wajib
pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas yang diberikan dengan ketentuan
dan krietria tertentu agar memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban
perpajakannya. Sehingga penerimaan negara disektor pajak menjadi maksimal.